Minggu, 28 Oktober 2018

Pulang itu Berat, Ga Pulang Jauh Lebih Berat

Tulisan ini bukan untuk melarang teman-teman menjadi TKI. Bukan. Silahkan kerja di  Rantau. Jemput rizki-Nya. Segerelah pulang kembali. 

Kamu serius mau pulang selamanya? Kamu kok ngbreak, sayang lho beberapa bulan lagi finish? Mumpung belum nikah, puas-puasin aja dulu di sini, baru pulang...

Pertanyaan dan pernyataan di atas aku tepiskan dengan niat. Ya saat mau pulang kampung kita kudu punya niat, bukan sekedar niat, niat itu kudu kuat, kalau diibaratkan dengan dinding, ga akan lecet karena digedor palu.
Kapan kita bisa pulang? Ketika tujuan kita di Negeri rantau terpenuhi dan sudah punya bekal. Bingung ya? Nih contohnya, dulu pas berangkat si Inem (contoh lho ya) bertujuan untuk membangun rumah.

Setelah  bisa membangun rumah, sudah saatnya Inem pulang.
Bekalnya apa? Tabungan. Tabungan itu untuk keperluan  kita tiap hari, masa pulang bisa bangun rumah, tapi buat jajan ga ada. Ga mungkin kan?

Selain tabungan juga punya kemahiran atau skill.  Apa saja. Buat jaga-jaga. Tapi menurut saya ini ga wajib sih, kecuali kalau ada rencana menekuni, misalnya buka usaha kuliner atau lainnya.

Biasanya saat mau pulang ujiannya buanyaaak. Salah satunya: Ragu.

Duh, nanti pulang di rumah ngapain yak. Duh bekalku pulang belum banyak ey, belum ikut kursus jahit, rias, komputer dll. Duh, tabunganku  belum  cukup. Nah ini sedikit dari banyaknya keraguan, ujian tadi.
Sudaah, tepiskan saja dengan niat kuat tadi. Karena dengan niat tadi akan menumbuhkan mental yang besar. Ya, mental, siap menghadapi apapun yang terjadi, siap menanggung risiko.

Prestasi terbesar ketika seseorang pulang kampung ketika ia bisa betah di rumah. Betah? Iyaaa! Ia bisa beradaptasi lagi dengan lingkungan setelah sekian lama tinggal di tanah rantau yang kondisinya jauuuh lebih beda. Apalagi kalau ada yang nyinyir gini:

Kerja di rumah tiap hari (kerjaan rumah) tapi ga digaji ya, beda sama tinggal di luar negeri.

Disenyumin aja, jawab dalam hati:
Kan lagi bantu orangtua atau suami (bagi yang ga jomblo), biar Tuhan yang gaji.

Gimana supaya betah? Lakukan apa yang kamu suka, sibukan diri! Apa aja. Intinya sih, gimana caranya kita lupa dengan dollar, gimana caranya kita ga inget (inget mah pasti ya, hehe) dengan fasilitas mantan negeri rantauan. Masih ga bisa move on gimana dong? Saat mau pulang, hiduplah sederhana sederhan.  Ga usah sering ngemall, makan di restoran, toh nanti di kampung, supaya sudah terbiasa ga ngemall, ga nongkrong di tempat wisata, dan lain-lain. Mending kita sudah langsung punya penghasilan, bagus atuh. Lha kalau belum, tabungan kita kan cuman buat kebutuhan harian, bukan buat liburan 🤣

Duh, aku lihat si Mbak itu alumni TKI juga sukses dengan usahanya, bisa bermanfaat dengan orang kampungnya.

Lho kamu tahu darimana? Tahu di akun facebooknya, hehe.

Hei, jalan hidup orang itu beda lho. Kalaupun mau meniru jejak seperti mereka bagus atuh. Silahkan. Persiapkan mental yang lebih besar lagi. Mental buat memulai usaha. Mental buat tiba-tiba usaha mandeg, sedangkan modal habis. Mbak yang kamu lihat mungkin post atau share hasilnya saja, prosesnya pasti berliku-liku, sakit walaupun tak berdarah 😂

Saya bilangin sekali lagi. Mental disiapkan untuk pulang saja dulu, biar betah. Bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Nanti kalau sudah betah, mau usaha apapun pasti bisa, apalagi sekarang zamannya online yang konon bisa usaha tanpa modal. Asal ya tadi, siapkan lagi mentalmu.

Teman-teman juga perlu tahu, nih yang nulis juga belum apa-apa, belum bisa usaha (boro-boro punya partner buat usaha, nikah aja belum. Hihi. Doain ya...), belum bisa bermanfaat untuk sekitar. Tapi saya ngerasa saya sudah bisa melewati satu fase, berani pulang. Lalu hati saya tergerak untuk segera nulis (apalagi setelah beberapa kali mendengar curhatan),  bisa berbagi buat teman-teman yang sebenarnya udah ngebet mau pulang, tapi ragu.

Ingat ya, langkah pertama bagi seorang TKI yang ingin sukses itu pulang.

Kunci lain supaya betah di kampung adalah bersyukur. Menerima dengan lapang pada apa yang kita miliki.

Tidakkah kau rindu dengan suasana kampung yang tiap waktu selalu mendengar suara adzan berkumandang. Tidakkah kau rindu dengan riuhnya pasar malam, berkumpul dengan keluarga atau kawan. Tidakkah kau rindu akan syahdunya lantunan tadarus Alquran di malam-malam Ramadan.
Tidakkah kau rindu akan gagahnya suara takbir saat malam satu Syawal.
Tidakkah kau rindu...
Ah, sudahlah, tanpa ditulis pun, kau tahu.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf lahir bathin.

Salam,
Nur Musabikah
#alumnitkihongkong

Jumat, 19 Oktober 2018

Kepada Gerimis

Kepada gerimis kuberkisah,
“Ranting tubuhku terpelanting ke sana ke sini
ditampar angin berkali-kali.
Helaian jasadku terkulai
terurai.”

Kepada gerimis kumengadu,
“Seonggok ragaku bergeming
kaku
terguyur tetesanmu
kuyup.”

Lalu, waktu melesat jauh

Kepada gerimis kumengukir mimpi, “Layaknya kamu, aku pun siap jatuh terus menerus walaupun pelan, akan ada saatnya datang hujan besar, amukan badai. Namun, akan pergi secepat ia datang."

Kepada gerimis kuberjanji,  "Layaknya kamu, aku  pun harus siap dicekam hawa dingin. Kelak akan tiba saatnya datang segerombolan putihnya awan, bentangan birunya langit,  dan  jingga matahari menyelimuti.”

Kepada gerimis kuiramakan lagu, “Setelah kepergianmu akan ada ranumnya kembang warna-warni, hijaunya pepohonan dengan batang yang kokoh.”
“Pun denganmu,” bisikmu.

Nur Musabikah
Kota Nanas, 28 September 2019

THEME BY RUMAH ES