Mobil yang kutumpangi memasuki sebuah gang, setelah melewati
plang besar bertuliskan nama sebuah perusahaaan. Lebih tepatnya –menurutku-- perusahaan
Allah. Sekitar jalan, tumbuh banyak pohon jati menjulang tinggi, membawa angin,
menyejukkan insan yang tinggal di sana. Banyak orang lebih mengenalnya ‘Pondok
Jati’, beda jauh dengan nama yang terpampang di plang tadi. Gerobak pedagang
berjejer rapih di sana. Ada cimol, tahu krispi, batagor, sioamy dan es pelangi.
Itu yang kuingat.
Tiga menit kemudian mobil berhenti di depan gerbang warna
hijau. Beberapa bocah hilir mudik. Baju kokoh, sarung dan kopiah hitam yang
dikenakannya, menjadi ciri khas tersendiri. Ya, Santri. Apa pun serba ngantri.
Suka makan ikan teri. Biar besar jadi Mentri. Dagelan yang kutahu dari temanku,
Mbak Sari.
“Ayo turun,” Sebuah suara mengomandani penghuni mobil. Kami
sigap turun.
Ketika memasuki gerbang. Ada papan putih pengumuman, kecil,
berderet tiga kata dan ditulis dengan huruf kapital. Refleks aku berhenti, memandang
tulisan tersebut. Tidak sadar mulutku terbuka, sampai Yayu Yati menarik
tanganku keras.
“Hust, jangan melongo! Cepat masuk,” ujarnya.
“Iya... Iya...” Aku belingsatan.
Jalanan aspal sangat bersih, tak kutemui sampah bersantai
ria di sana. Pot bunga berbaris di tepian. Sebuah masjid klasik menyuguhkan
keagungan rumah-Nya. Tepat samping kanan gerbang. Kutengok sekilas, di depan
tempat pengimaman ada halaman yang tak terlalui luas dan hanya beberapa pohon yang tumbuh.
Dua gundukan tanah dikelilingi pagar kayu menggoda mataku untuk kedua
kalinya.
“Itu kuburan Almarhum pengasuh Pondok,” Yayu mebisiskiku.
Aku mengangguk-angguk pelan.
Di serambi dan pojokan Masjid, beberapa santri terlihat
santai dengan bersila. Mungkin menghafal atau membaca benda kotak di tanganya.
Di depannya berdiri bangunan yang memanjang. Di sana
bertuliskan ”Kantor Pengurus” Sampingnya ”Tempat Jenguk Wali Santri.” Tapi
ketika kutanya Yayu, kenapa tidak ke tempat itu, masih suasana liburan jadi
bebas, katanya. Walhasil kami jalan lurus menuju asramanya Edin, putra kedua
Yayu.
Lalu lalang snatri membuatku
sesekali menundukan kepala. Sebentar lagi masuk waktu ashar, banyak santri yang
jalan cepat menuju tempat wudhu. Sebuah tampungan air besar terlihat di depan
kamar mandi, airnya bening dan berlimpah.
Sosok bocah berkulit putih menyalami Yayu, aku dan rombongan
lainnya. Ia mengajak kami berjalan belok ke kanan dari kamar mandi. Komplek
asrama berdiri melingkar. Mengelilingi taman kecil. Konon, di belakang masih ada
asrama lagi, karena santrinya kurang lebih seribu.
Kami duduk di serambi kamar Edin, karena di dalam tidak muat
untuk menampung kami. Banyak santri baru masih suka duduk-duduk di kamar, kata
Edin. Pantas saja di depan gerbang banyak mobil, ternyata para santri baru yang
sedang daftar pondok.
Setelah ngobrol, melepaskan rindu keluarga pada Edin, kami
pamit pulang. Sudah menjadi tradisi, ketika menjenguk saudara di Pesantren,
kami selalu ngasih uang jajan. Tangan Edin mengepal. Karena kantong bajunya
sudah tidak muat menyimpan uang. Senyum sumringah terpancar pada bocah yang
kini masuk SMP itu. Kami berpisah.
Di Mobil, Yayu mulai obrolannya dengaku. Ia cerita pengalamn
dulu sewaktu santri, hingga ia bercerita Edin, anaknya. Sebelum cerita, ia
sudah tertawa kecil, menundang rasa penasaranku.
“Edin mah walaupun sedang tidur, kopiah hitam pasti selalu
ada disampingnya. Karena salah satu perturannya diwajibkan berkopiah selama di
pondok. Jadi, ketika dia bangun tidur, langsung pakai kopiah. Dilepas cuman pas
tidur atau wudhu saja. “
Hahah. Kami seisi penghuni mobil berkelakar.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu! Saat aku melihat papan kecil
itu bertuliskan ‘Kawasan Wajib Berkopiah’. Hihihi
#fiksi4
#onedayonepost
5 komentar:
Ooh..itu tulisannya..hehe..
Typo2 sikit mblo :P
Seperti di ponpes kebon jambu al islami (bacicir)
Iya mblo wkk kejar Dl
Tepat, Mang. terinspirasi dari sana
Menarik, berhasil menggugah keingintahuan pembaca :)
Kereenn mbaa nyaa.. 😍😘
Posting Komentar