Selasa, 29 Januari 2019

Abah, Aku dan Kamu

Tahun 2011, saat itu saya kerja di sebuah mini market. Karena perempuan, tentu saja posisi saya sebagai kasir. Jarak tempat tinggal orang tua ke market lumayan jauh,  tidak ada kendaraan umum kecuali ojek. Bisa ditebak, ongkosnya lebih  mehong. Itulah alasan saya indekos.

Dan pada suatu hari, saya mendapat kabar dari teman satu angkatan di pesantren, kabarnya ia ingin melangsungkan pernikahan. Ia lumayan dekat, pernah satu tempat duduk di Madrasah Aliah.

Kebetulan saat itu, saya kebagian sif siang. Masih ada waktu untuk bisa hadir di waktu pagi.

Hari H pun tiba, saya berangkat ke rumahnya dengan kendaraan umum. Seorang diri. Dengan tabungan tanya alamat lewat SMS atau telepon, dulu mah belum punya android, mana bisa ngecek lokasi lewat google map.

Singkat cerita, akhirnya sampai juga. Di sana sudah banyak teman-teman pesantren. Bisa dibilang reuni kecil-kecil kalau zaman now mah reuni tipis-tipis. Hehe. Kami saling bertukar cerita, tenggelam dalam kenangan.

Saat ijab kabul, kebetulan saya ada di kamar mendampingi pengantin. Artinya selama ijab kabul berlangsung si pengantin wanita di kamar.

Setelah ramai-ramai para undangan mengucapakan sah, pengantin pria masuk ke kamar menjemput pengantin wanita. Ada pemandangan sangat indah yg kulihat saat itu. Lebih indah dari hijaunya pegunungan Indonesia. Heuheu

Abah -- demikian kami memanggilnya -- Sang pengasuh Pondok Pesantren mendampingi pengantin pria menuju kamar, setelah keduanya bertemu, mereka bersalaman. Lantas dari samping Abang memegang tangan kanan pria, lalu diarahkan  ke atas kepala pengantin wanita.

Abah memimpin doa yang diikuti pengantin pria.

"Allahumma inni As-aluka khairaha wa Khaira ma jabaltaha 'alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha 'alaih"

Saya yang saat itu ada disamping pengantin takjub dan terharu, melihat sepasang insan saling mendoakan dan mengaminkan, dibimbing oleh Abah.

Ah..  kelak aku pengen seperti mereka
Ah.. kelak aku pengen seperti mereka
Ah.. kelak aku pengen didoakan suami dan langsung dibimbing Abah
Ah.. hanya mimpi

Saya pun sengaja menghentikan angan-angan saya. Saya sengaja bangun dari mimpi konyol itu. Bergegas saya  keluar kamar melihat kelanjutan akad nikah, menandatangani berkas-berkas, serah terima mahar dan lain-lain.

Tak lama kami mengabadikan momen spesial itu dengan kamera.
Setelah puas, saya pamit pulang, mengejar waktu kerja.
****

25 Desember 2018 angan-angan saya ternyata terjadi di musalah Uak -- saya biasa memanggil beliau, Uwak Mus, musalah keluarga. Sepasang insan berdiri dengan didampingi Abah.

Ya Rabb, syukur padaMu atas nikmatMu.

#365days
#5of365
#2019bercerita

Kamis, 24 Januari 2019

Gus Mus: Tentang Takwa

Saya suka baca buku non fiksi agama tentang ketauhidan.  Tulisan-tulisan Kyai asal Rembang ini salah satu tulisan yang paling kusuka, mengingatkan saya bahwa manusia itu sangat kecil banget, Tuhan lah yang Maha Esa.

Buku ini adalah kumpulan tulisan beliau yang pernah terpampang di berbagai media cetak. Ada tiga bab yang terdiri dari beberapa sub bab.

Saya sendiri beberapa kali loncat ke bab lain, karena otak saya ga mampu. Hehe

Sampailah ke sub bab 'Dia , Saya, dan Takwa'. Di sana beliau menuliskan seorang sahabat --bisa dibilang gitu kali ya-- yang tiba-tiba main ke rumah. Karena waktu Maghrib tiba, si sahabat ikut berjamaah di surau pesantren bersama santri-santri. Saat wiridan beliau sempet memperhatikan sahabatnya dari Jakarta ini, berpenampilan ala orang kota.  Dari mulai fisik, cara berpakaian, namanya, dan lain-lain.  pun tak lupa membandingkan diri. Intinya kalau dilihat dari segi agama beliau yang paling nonjol dibanding sahabatnya sebagai seorang seniman.

Hingga akhirnya beliau bertanya pada diri, apakah beliau lebih mulia daripada sahabatnya? Apakah beliau lebih bertakwa daripada sahabatnya? Bukankah seseorang yang paling mulia disisi-Nya adalah orang yang paling bertakwa? Begitu kira-kira renungan beliau di buku yang saya baca.

Renungan beliau tidak menggantung begitu saja. Setelah itu beliau menuliskan beberapa definisi takwa dari bebagai sumber, salah satunya Alquran. Beliau menyimpulkan:

Kesenimanan dan kekiaian tidak termasuk kriterium. Jadi sepanjang menyangkut soal ketakwaan, saya tidak bisa sekedar mengukurnya dari kesenimanan dan kekiaian saya. Apalagi Rasulullah sendiri pernah berkata, sambil menunjuk dada, "At taqwa ha hunaa." (Takwa itu di sini).
Tapi saya tidak mengukur siapa-siapa, saya sedang bercermin pada diri kawan saya yang seniman dan saya melihat beberapa hal yang dapat saya manfaatkan untuk diri saya.
Saya melihat kekhusyuan tidak dalam salat dan wiridannya saja. Saya melihatnya juga pada saat dia bicara atau mendengarkan tentang Tuhan, bahkan tentang ciptaan-Nya. Dia menyimak dan merekam segala sesuatu yang dapat mendekatkan kepada Allah. Atau bahkan dia menyimak dan merekam-Nya pada segala sesuatu.
(Halaman 233)

Saya sengaja menebalkan dua kalimat terakhir. Hehe.

Beliau juga menyebutkan nama sahabat tersebut. Dan ternyata nama tersebut ga asing bagi pecinta literasi. Penasaran ga?

Oh iya saya belum khatam baca buku ini, tapi entah kenapa rasanya tangan ini ingin bermain ria dengan keyboard ponselku, buku ini sangat cocok buat anda agar lebih kenal dengan Tuhan.

Judul: Pesan Islam Sehari-hari
Penulis: A. Mustofa. Bisri
Penerbit: Laksana

#365days
#6of365
#2019bercerita

Jumat, 18 Januari 2019

Berbagi Kebaikan Melalui ODOP

"Satu Jam Termehek-mehek"

Aku sempet dibuat kaget saat membaca judul grup baru di WhatsApp. Wah semoga nanti bisa nimbrung, doaku siang itu. Sayangnya sindiran pacarku (baca: suami) terngiang keras, "Saya pengen deh jadi hape, biar dilihat kamu terus."
Jadi weh pada malam itu pilih menemani hari libur kerjanya.

Aku gabung Odop tiga yang saat itu dipimpin Mas Heru. Salut. Merasa bangga bisa gabung komunitas ini. Satu yang ga kudapat dari grup menulis lain, rasa kekeluargaan sesama anggota. Aku yakin kalian juga ngerasain.

Bergantinya tahun, Mas Ian yang kutahu orang Subang menggantikan jabatan penulis sejarah itu. Tambah salut. Lha ini ODOP makin banyak programnya, aku juga pernah ikut salah satunya, RCO. Reading Challenge ODOP. Walaupun ga pernah lulus, parahnya sudah ikut dua kali😂

Setelah naik turun lurus dan belok, ternyata acara serah terima jabatan kepengurusan ODOP 2019. Acara itu dipimpin oleh Mas Heru. Acara dibuka dengan lagu kebangsaan komunitas yang digagas oleh Bang Syaiha. "Satu Kali Lagi" lagu yang diciptakan dan dinyanyikan oleh warga Odop 2, Mas Urip Widodo dan Mbak Heny.
Merinding banget🤗 terharu bisa gabung sama komunitas ini.

Lanjut dengan pidato dari Mas Ian, isinya ga kalah bikin merinding. Salah satu isi pidato yang sempat nangkring dipikiran saya:

ODOP adalah sebuah kebaikan yang harus dilanjutkan

Ya, kabaikan. Jika kita mendapat kebaikan dari A, maka si A memberi kebaikan serupa atau lebih kepada B, lalu si B memberi kebaikan kepada C dan seterusnya. Agar kebaikan terus berlanjut. Tidak putus di tengah jalan.

ODOP adalah wadah bagi orang-orang yang ingin berbagi kebaikan.

Acara itu dilanjut dengan tanya jawab diselingi becanda yang tak lepas dari para ODOPers.

Terakhir serah terima jabatan kepada kepengurusan baru.
Suasana makin haru.

Selamat bertugas Mas Suden, ingatkan kami agar terus berbagi kebaikan.

-- Nur Musabikah --

#365days
#2of365
#2019bercerita

THEME BY RUMAH ES