Sabtu, 23 September 2017

RCO

RCO (Reading Challenge ODOP) merupakan salah satu program membaca di komunitas One Day One Post. Program lainnya adalah kelas fiksi dan non fiksi.

RCO sudah berjalan hampir tiga bulan. Ada beberapa level yang harus kami lewati. Sejauh ini sudah banyak yang gugur termasuk saya. Hehe. Hal ini karena tidak memenuhi tantangan dari admin. Jadi, ga naik level. Huhu
Padahal tantangan dalam level bikin penasaran (saya pribadi), membuat semangat baca.

Hmmm ngomong-ngomong admin, siapakah mereka?

Mereka orang-orang keren dibelakang layar. Ada Kang Fery, Mba Na dan Mb Dewi. Mereka selalu mengingatkan kita untuk istiqomah membaca. Terbukti setiap hari kita dituntut harus laporan di grup. Uniknya,  format laporan baca selain jumlah buku, juga  harus menulis judul dan quote paling disukai.

Jadi, kita bisa tahu banyak judul dan qoute buku, rasanya seperti kita jalan mengitari rak buku di perpustakaan. Pastinya, kita bisa tahu recomend buku keren ala mereka!

Keren nggak tuh?! #ingetuncleyakhihi

Dulu, ketika RCO belum lahir (eh) saya pribadi tipe orang yang sering menunda-nunda baca buku. Apalagi buku yang dibaca, bukan saya banget. Bisa ditebak, akhirnya banyak buku yang ga habis dilahap. Alhamdulilaah dengan adanya RCO sisaan buku tersebut, sudah habis dibaca. #Tepuktangan

Ketika saya tanya harapan RCO untuk odopers, beliau menjawab, "Apa ya?
Harapan saya,
sebagai tempat bagi penulis mempersiapkan diri dengan membaca.
Karena, kan itu salah satu penunjang kita untuk menulis.
Terlepas dari kegiatan membaca. Disini Kita melatih diri untuk disiplin. Disiplin membaca dengan target tertentu dan disiplin laporan, " ujar Mbak Na. Saat itu juga saya mengaminkan dalam hati.

Yuk, kita aminkan bersama. Aamiin

#RCO #Odopkeren
#onedayonepost

Rabu, 20 September 2017

Bait-Bait do'a di Akhir Tahun

"Betapa dahsyatnya doa, ke dalam hati ia menghadirkan kekuatan.
Pada jiwa, ia membulatkan tekad.
Pada ayunan langkah, ia memudahkan jalan.
Maka...
Jangan biarkan malam terbata sendirian.
Bisikkan do'a terkhusyuk.
Pintalah hari esok yang lebih baik."

Deretan kalimat di atas saya kutip dari buku '#Tahajud Notes' karya M. As'ad Mahmud, Lc.

Betapa dahsyatnya do'a. Hingga setiap muslim dianjurkan untuk berdo'a. Apalagi ketika hendak memulai sesuatu atau mengakhirinya.

Kebetulan, hari ini adalah hari terakhir dalam bulan Dzulhijjah. Salah satu bulan mulia sekaligus bulan terakhir dalam kalender Hijriyah. ( http://www.liburnasional.com/tahun-baru-hijriyah-2017/)

Dalam kalender Hijriyah, pergantian tanggal atau hari ketika matahari terbenam atau waktu maghrib. Artinya waktu maghrib nanti kita sudah masuk satu Muharram 1439 H.

Jadi ingat lagi saat saya masih ngaji sama beliau (yang kisahnya saya tulis kemarin).

Ba'da sholat ashar di hari akhir tahun, para santri berkumpul. Biasanya beliau nulis do'a akhir tahun di papan tulis. Yang mana papan tulis tersebut di depan kami. Bisa ditebak, wajah polos kami serempak menghadap ke papan tulis. Hehe

Dengan bantuan mix, beliau membaca satu atau dua lafadz, yang nanti diikuti oleh kami. Do'a itu dibaca tiga kali.

Malamnya ba'da maghrib kami pun kumpul ditempat yang sama. Beliau sudah mengganti tulisan di papan tulis dengan do'a awal tahun. Pun sama. Beliau yang pimpin. Kami mengikuti.

Setelah do'a ada sedikit tausiyah dari beliau. Tak lupa beliau nyuruh kami puasa (esoknya) untuk merayakan tahun baru.

Seneng ya, mengakhiri dan mengawali tahun baru dengan sesuatu yg baik dilakukan dengan berjamaah pula. #Duh syahdu...*lebay

Akhirnya, saya post do'a ini di Blog. Untuk pengingat diri. Semoga untaian do'a kita mengiringi setiap langkah menjemput kesuksesan. Aamiin.
Mohon maaf lahir bathin ;)

Nur Musabikah
Indramayu, di penghujung Dhulhijjah.

Foto: fimadani.com

Senin, 18 September 2017

Renungan

      Dua Senjata dalam Hidup

Namanya Arin, gadis yang baru saja lulus Aliyah itu harus rela menghabiskan masa mudanya dengan bekerja. Mencari pundi-pundi rupiah untuk meringankan beban orang tua. Tidak seperti temannya yang kebanyakan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Diam-diam Arin kecewa dengan hidupnya yang selalu jauh tidak baik dari temannya.

Hidup sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara membuat ia harus lebih kuat dihadapan keluarga. Kakaknya menderita sakit membuat ia tidak bisa bekerja dan membutuhkan biaya berobat tiap bulannya.

Pernah, dalam suatu kesempatan ia merasa hidupnya sangat buruk. Rasanya Tuhan tidak Adil. Rasanya Tuhan tidak mempedulikannya. Bagaimana tidak? Pikirnya. Bapaknya sebagai tulang punggung keluarga, pemberi nafkah, nahkoda dalam perahu kecil dan raja dalam istana kecil keluarganya,  tiba-tiba menghilang. Pergi ke tempat jauh. Meninggalkan segala kewajibannya. Membuat rasa sesak di dada.

Arin bingung dengan kenyataan pahit tersebut. Bagaimana supaya bisa memberi makan sehari-sehari keluarganaya. Pikiranya berkecamuk. Lagi-lagi ia merasa Tuhan tidak adil.
Karena tidak mau berlarut dalam kepelikan hidup, ia akhirnya nekat untuk merantau ke Luar Negeri. Mencari uang  membeli sawah untuk mata pencaharian keluarganya.

Hidup di Negeri Orang sangat butuh mental sekuat baja. Apalagi Arin kali pertamanya kerja di negeri tetangga. Komunikasi dengan bahasa  setempat yang jauh lebih susah dari apa yang ia pelajai di buku. Menghadapi majikannya yang cerewet dan jika ngomong dengan suara keras--orang sana memang demikian—baginya hal baru.  Ia lewati dengan air mata yang  sewaktu-waktu mengalir tanpa jeda.

Lika-liku menuju Skenario-Nya...

Tidak sampai itu, Arin pun harus menghadapi musim yang tak pernah ia rasakan di Indonesia. Ketika musim dingin tiba, kulitnya yang belum terbiasa, sering pecah di bagain jari tanganya. Tak tanggung-tanggung hidungnya sewaktu-waktu mengeluarkan darah.

Waktu bergulir, arus  hidupnya mengalir. Adaptasi berhasil ia lewati. Selesai didaki. Saatnya perjalanan pulang dijalani.

Suatu hari ketika libur kerja tiba, ia dipertemukan dengan kenalan hingga akhirnya berteman. Sebut saja namanya Siti. Kebersamaan yang ada membuat ia seperti saudara. Apalagi Arin usianya jauh lebih muda dari Siti.
Layaknya hubungan saudara, segala kepelikan hidup saling mereka bagi, pun dengan kebahagian.

Siti anak tunggal sekaligus piatu. Ibunya wafat ketika ia belum sekolah. Bapaknya orang keras. Hal tersebut sebagai alasan Siti untuk tidak tinggal di rumahnya. Ia tinggal dengan saudara dari bapaknya. Semua biaya sekolah ditanggung bibinya. Walaupun Siti harus mengerjakan semua kerjaan di rumah. Pun sama dengan Arin, Siti juga merasa hidupnya jauh lebih tidak baik.

Singkat cerita setelah lulus SMA, Siti kabur. Ia merasa tidak betah atas perlakuan Bibi dan Bapaknya, walaupun memang kebaikan membiayai sekolah selalu diberi. Tapi manusia mana yang betah ketika hidup dengan orang yang sering main tangan kepada dirinya?

Sampailah Siti ke Negeri orang. Mencari uang untuk biaya hidup sendiri walaupun ia juga harus mengirim uang untuk Bapaknya yang malas kerja. Di hari libur, ia gunakan waktunya untuk belajar lagi, melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.

Mendengar kisah tersebut, Arin merasa sangat bersyukur bisa hidup bareng ibu dan adik-adiknya tanpa Bapak. Masih mendapat kucuran kasih sayang dan  aliran cinta dari keluarga.

Pelan-pelan Arin kembali yakin bahwa Tuhan itu Adil. Memberi ujian setiap hambanya tidak melebihi batas kemampuan. Ia yakin kejutan dari-Nya akan hadir.

Selang beberapa tahun Arin dan Siti pulang ke Bumi Pertiwi. Arin berhasil menumpulkan sejumlah uang membeli sawah sebagai mata pencaharian keluarga.
“Alhamdulilaah, walaupun saya kerja di Negeri orang tapi bisa memberi sesuatu untuk keluarga. Bisa jadi, kalau saya melanjutkan kerja di kampung, belum tentu tahun ini bisa membeli sawah,” batinnya.

Sedangkan Siti pulang dengan membawa gelar S1 dan sejumlah uang untuk kelanjutan hidupnya. Tak lama Siti menemukan pria idaman hingga menjadi imam hidupnya. Sosok pengganti bapaknya untuk mendapatkan kasih sayang dan tempat berbakti. Konon, sampai ia pulang Bapaknya belum berubah.*

Belajar dari kisah Arin dan Siti yang akhirnya bermuara ke Skenario-Nya yang indah. Rahasianya? Ketika ujian menimpa, mereka hadapi dengan sabar. Ketika nikmat-Nya datang, mereka hadapi dengan syukur.

Kisah tersebut kisah nyata. Mereka sosok terdekat saya, tapi mohon maaf namanya sengaja pake samaran. Saya jadi ingat pesan Ustadz As'ad Mahmud, "Dua senjata dalam hidup adalah sabar dan syukur. Keduanya diibaratkan sebagai Ibu dan Bapak dari semua amal."
Semoga bermanfaat. Semangat pagi odopers...:)

#onedayonepost

Sabtu, 09 September 2017

Air mata di Bulan Agustus

Dua hari berturut-turut, rasanya air mata tidak bisa dibendung.

Enam belas Agustus lalu. Tepatnya disebelah rumah, pagi-pagi sekali sudah ramai hilir-mudik para bapak dan ibu undangan. Tenda biru terpasang. Kursi-kursi terpampang.

Jam sebelas siang, Sang MC memulai acara. Sebelum acara, suara dari mix menyahut-nyahut mengajak diri untuk merenung. Merdu, membawa sendu. Banyak pasang mata seketika sembab. Termasuk diri ini...

Labbaik allahumma labbaik. Labbaikalaa syariiika labaik. Innal hamda Wanikmata. Lakawalmulka la syarikalah.

Sahutan itu berulang-ulang. Menyekat tenggorokan para undangan. Tidak ketinggalan denganku.

Pelepasan keberangkatan haji itu memeras mata.

Paginya, tujuh belas agustus. Hari ketika orang-orang bahagia. Para bocah, ramai ikut memeriahkan acara lomba-lomba. Di sekolah, ramai mengadakan upacara bendera. Walau panas menyengat, terlihat semangat.

Begitupun di TV, menampilkan upacara secara langsung di Istana Negara. Sebelumnya upacara berlangsung di luar Istana, diadakan pameran adat budaya Indonesia. Keren, Indonesiaku!

Namun, kemeriahan itu hilang terganti dengan rasa khidmat dan hormat. Ketika upacara berlangsung. Saat kamera menyorot sosok-sosok yang dulu pernah jadi orang nomor satu di Negeri Pertiwi. Seorang pria berkopiah hitam, terlihat auranya hampir menangis. Mungkin saja, sudah meluber air matanya.

Diri ini bertanya, kenapa? Entah. Bisa jadi dalam benaknya terlintas, "Apakah Negeri ini sudah merdeka?"

Saat kamera menyorot seorang putri dan putra bangsa menjalankan tugasnya dengan cucuran keringat di wajahnya.
Tak sengaja, diri ikut bangga dan haru.
Pecah sudah kedua mataku, membasahi pipi.
Teringat pertanyaan yang tak bertepi.

Apa yang sudah kuberi untuk Negeri Pertiwi?

#onedayonepost

THEME BY RUMAH ES