Senin, 18 September 2017

Renungan

      Dua Senjata dalam Hidup

Namanya Arin, gadis yang baru saja lulus Aliyah itu harus rela menghabiskan masa mudanya dengan bekerja. Mencari pundi-pundi rupiah untuk meringankan beban orang tua. Tidak seperti temannya yang kebanyakan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Diam-diam Arin kecewa dengan hidupnya yang selalu jauh tidak baik dari temannya.

Hidup sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara membuat ia harus lebih kuat dihadapan keluarga. Kakaknya menderita sakit membuat ia tidak bisa bekerja dan membutuhkan biaya berobat tiap bulannya.

Pernah, dalam suatu kesempatan ia merasa hidupnya sangat buruk. Rasanya Tuhan tidak Adil. Rasanya Tuhan tidak mempedulikannya. Bagaimana tidak? Pikirnya. Bapaknya sebagai tulang punggung keluarga, pemberi nafkah, nahkoda dalam perahu kecil dan raja dalam istana kecil keluarganya,  tiba-tiba menghilang. Pergi ke tempat jauh. Meninggalkan segala kewajibannya. Membuat rasa sesak di dada.

Arin bingung dengan kenyataan pahit tersebut. Bagaimana supaya bisa memberi makan sehari-sehari keluarganaya. Pikiranya berkecamuk. Lagi-lagi ia merasa Tuhan tidak adil.
Karena tidak mau berlarut dalam kepelikan hidup, ia akhirnya nekat untuk merantau ke Luar Negeri. Mencari uang  membeli sawah untuk mata pencaharian keluarganya.

Hidup di Negeri Orang sangat butuh mental sekuat baja. Apalagi Arin kali pertamanya kerja di negeri tetangga. Komunikasi dengan bahasa  setempat yang jauh lebih susah dari apa yang ia pelajai di buku. Menghadapi majikannya yang cerewet dan jika ngomong dengan suara keras--orang sana memang demikian—baginya hal baru.  Ia lewati dengan air mata yang  sewaktu-waktu mengalir tanpa jeda.

Lika-liku menuju Skenario-Nya...

Tidak sampai itu, Arin pun harus menghadapi musim yang tak pernah ia rasakan di Indonesia. Ketika musim dingin tiba, kulitnya yang belum terbiasa, sering pecah di bagain jari tanganya. Tak tanggung-tanggung hidungnya sewaktu-waktu mengeluarkan darah.

Waktu bergulir, arus  hidupnya mengalir. Adaptasi berhasil ia lewati. Selesai didaki. Saatnya perjalanan pulang dijalani.

Suatu hari ketika libur kerja tiba, ia dipertemukan dengan kenalan hingga akhirnya berteman. Sebut saja namanya Siti. Kebersamaan yang ada membuat ia seperti saudara. Apalagi Arin usianya jauh lebih muda dari Siti.
Layaknya hubungan saudara, segala kepelikan hidup saling mereka bagi, pun dengan kebahagian.

Siti anak tunggal sekaligus piatu. Ibunya wafat ketika ia belum sekolah. Bapaknya orang keras. Hal tersebut sebagai alasan Siti untuk tidak tinggal di rumahnya. Ia tinggal dengan saudara dari bapaknya. Semua biaya sekolah ditanggung bibinya. Walaupun Siti harus mengerjakan semua kerjaan di rumah. Pun sama dengan Arin, Siti juga merasa hidupnya jauh lebih tidak baik.

Singkat cerita setelah lulus SMA, Siti kabur. Ia merasa tidak betah atas perlakuan Bibi dan Bapaknya, walaupun memang kebaikan membiayai sekolah selalu diberi. Tapi manusia mana yang betah ketika hidup dengan orang yang sering main tangan kepada dirinya?

Sampailah Siti ke Negeri orang. Mencari uang untuk biaya hidup sendiri walaupun ia juga harus mengirim uang untuk Bapaknya yang malas kerja. Di hari libur, ia gunakan waktunya untuk belajar lagi, melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.

Mendengar kisah tersebut, Arin merasa sangat bersyukur bisa hidup bareng ibu dan adik-adiknya tanpa Bapak. Masih mendapat kucuran kasih sayang dan  aliran cinta dari keluarga.

Pelan-pelan Arin kembali yakin bahwa Tuhan itu Adil. Memberi ujian setiap hambanya tidak melebihi batas kemampuan. Ia yakin kejutan dari-Nya akan hadir.

Selang beberapa tahun Arin dan Siti pulang ke Bumi Pertiwi. Arin berhasil menumpulkan sejumlah uang membeli sawah sebagai mata pencaharian keluarga.
“Alhamdulilaah, walaupun saya kerja di Negeri orang tapi bisa memberi sesuatu untuk keluarga. Bisa jadi, kalau saya melanjutkan kerja di kampung, belum tentu tahun ini bisa membeli sawah,” batinnya.

Sedangkan Siti pulang dengan membawa gelar S1 dan sejumlah uang untuk kelanjutan hidupnya. Tak lama Siti menemukan pria idaman hingga menjadi imam hidupnya. Sosok pengganti bapaknya untuk mendapatkan kasih sayang dan tempat berbakti. Konon, sampai ia pulang Bapaknya belum berubah.*

Belajar dari kisah Arin dan Siti yang akhirnya bermuara ke Skenario-Nya yang indah. Rahasianya? Ketika ujian menimpa, mereka hadapi dengan sabar. Ketika nikmat-Nya datang, mereka hadapi dengan syukur.

Kisah tersebut kisah nyata. Mereka sosok terdekat saya, tapi mohon maaf namanya sengaja pake samaran. Saya jadi ingat pesan Ustadz As'ad Mahmud, "Dua senjata dalam hidup adalah sabar dan syukur. Keduanya diibaratkan sebagai Ibu dan Bapak dari semua amal."
Semoga bermanfaat. Semangat pagi odopers...:)

#onedayonepost

3 komentar:

Novarina DW mengatakan...

Semoga kita termasuk orang-orang yang sabar dan pandai bersyukur ya mbak Nur :)

MS Wijaya mengatakan...

semoga kita selalu bisa pandai bersyukur. terima kasih mba remindernya

Mykarhienblogspot.com mengatakan...

Bahasamu lembut sekali mblo 😅😅

THEME BY RUMAH ES