Kamis, 14 Maret 2019

Sosok di Balik 'Nikmat Bersua dengan-Mu'

Boleh dong share pengalaman menulis buku hingga selesai...

Dulu sebelum menulis naskah #nikmatbersuadenganmu, saya ingin banget menyimpan kenangan atau jejak selama merantau di Hong Kong. Itu pun gara-gara ada salah satu  guru nulis saya bilang begini, "Saya yakin banyak cerita yang dialami TKI di sana, coba tuliskan, ikat salah satu hikmahnya."

Oh ya ya, sayang juga kalau kenangan itu lewat begitu saja, tanpa kusimpan, kutulis menjadi sebuah buku. Janjiku saat itu.

Bagiku itu sebuah motivasi, dorongan untuk segera menulis rekam jejak TKI. Sesederhana itu ya? 🤣

Berjalannya waktu, saya pernah mendengar langsung dari Tere Liye dalam seminar di Jakarta, beliau bilang, "Tuliskan sebanyak-banyaknya motivasi, jika salah satu gugur, masih ada sisa motivasi lainnya."

Saat itu beliau menyebutkan angka 99, jika satu gugur, masih ada 98 tersisa.

Kok pas banget, ketika saya sudah pusing dan mual (hamil kali) menyelesaikan naskah, ada orang ngomong seperti itu. Alhamdulilaah, obat nih, batinku.

Hari-hari berikutnya saya baca ulang buku-buku teknik kepenulisan, satu buku khatam beralih ke buku lain dan seterusnya. Saya ingat-ingat ulang materi kepenulisan dari beberapa grup yang pernah saya ikuti. Hingga akhirnya saya menemukan motivasi baru.

1. Buku pertama adalah gerbang pertama

Perjalanan panjang dimulai dengan langkah pertama. Sama saja dengan buku  pertama, ia akan menjadi penyemangat untuk buku selanjutnya. Ia akan menuntun ke gerbang selanjutnya.

Saat mentok itu, saya sering banget berpikir, "Lha masa naskah ga selesai, gimana saya mau nulis naskah lain, sedangkan naskah sekarang belum selesai."

Saya pun menertawai diri, untuk segera menyelesaikan naskah. Haha

2. Dikenal keluarga

Saya pernah ikut pelatihan menulis online, sang pemateri mengajukan pertanyaan:

"Ada gak sih diantara kalian yang tahu nama buyut, canggah, wareng?" (Silsilah dari kakek dalam Jawa)

Tiba-tiba chat bersautan

Tidak tahu
Tidak tahu
Saya tahu nama Kakek doang

Dan masih banyak chat sama.

"Nah  kalian tahu ga, kira-kira kenapa kalian sampai ga tahu nama mereka?"

Kami masih terdiam.

"Ya, karena mereka tidak meninggalkan karya. Karena mereka tidak meninggalkan pesan buat kalian."

Tak ada satu pun chat berseliweran.

"Berjanjilah pada diri, sebelum usia habis bisa menerbitkan buku minimal satu. Untuk kelak anak cucu keturunan kalian."

Sang pemateri mengakhiri pertemuan itu.

Selain yang disebutkan di atas, beberapa motivasi penulis terkemuka selalu dibaca ulang, ditulis di mana pun, diary, note, dll.

"Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kamu ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri."
(J.K. Rowling)

Sekarang sudah tahu ya, jawaban judul tulisan ini? Tepat, sosok itu adalah motivasi. Misal ada yang tanya, kenapa ya naskahku belum selesai? Bisa jadi karena motivasi  kurang kuat.

Motivasi itu apa sih?
Coba tanya pada diri,
mengapa kamu menulis?
Sudah dijawab? Itu dia motivasi.

Tulisan berikutnya, saya mau berbagi pengalaman kirim naskah ke penerbit. Insya Allah🤲

Kota Nanas, 14 Maret 2019

#onedayonepost
#365days
#9of365
#2019bercerita

Selasa, 29 Januari 2019

Abah, Aku dan Kamu

Tahun 2011, saat itu saya kerja di sebuah mini market. Karena perempuan, tentu saja posisi saya sebagai kasir. Jarak tempat tinggal orang tua ke market lumayan jauh,  tidak ada kendaraan umum kecuali ojek. Bisa ditebak, ongkosnya lebih  mehong. Itulah alasan saya indekos.

Dan pada suatu hari, saya mendapat kabar dari teman satu angkatan di pesantren, kabarnya ia ingin melangsungkan pernikahan. Ia lumayan dekat, pernah satu tempat duduk di Madrasah Aliah.

Kebetulan saat itu, saya kebagian sif siang. Masih ada waktu untuk bisa hadir di waktu pagi.

Hari H pun tiba, saya berangkat ke rumahnya dengan kendaraan umum. Seorang diri. Dengan tabungan tanya alamat lewat SMS atau telepon, dulu mah belum punya android, mana bisa ngecek lokasi lewat google map.

Singkat cerita, akhirnya sampai juga. Di sana sudah banyak teman-teman pesantren. Bisa dibilang reuni kecil-kecil kalau zaman now mah reuni tipis-tipis. Hehe. Kami saling bertukar cerita, tenggelam dalam kenangan.

Saat ijab kabul, kebetulan saya ada di kamar mendampingi pengantin. Artinya selama ijab kabul berlangsung si pengantin wanita di kamar.

Setelah ramai-ramai para undangan mengucapakan sah, pengantin pria masuk ke kamar menjemput pengantin wanita. Ada pemandangan sangat indah yg kulihat saat itu. Lebih indah dari hijaunya pegunungan Indonesia. Heuheu

Abah -- demikian kami memanggilnya -- Sang pengasuh Pondok Pesantren mendampingi pengantin pria menuju kamar, setelah keduanya bertemu, mereka bersalaman. Lantas dari samping Abang memegang tangan kanan pria, lalu diarahkan  ke atas kepala pengantin wanita.

Abah memimpin doa yang diikuti pengantin pria.

"Allahumma inni As-aluka khairaha wa Khaira ma jabaltaha 'alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha 'alaih"

Saya yang saat itu ada disamping pengantin takjub dan terharu, melihat sepasang insan saling mendoakan dan mengaminkan, dibimbing oleh Abah.

Ah..  kelak aku pengen seperti mereka
Ah.. kelak aku pengen seperti mereka
Ah.. kelak aku pengen didoakan suami dan langsung dibimbing Abah
Ah.. hanya mimpi

Saya pun sengaja menghentikan angan-angan saya. Saya sengaja bangun dari mimpi konyol itu. Bergegas saya  keluar kamar melihat kelanjutan akad nikah, menandatangani berkas-berkas, serah terima mahar dan lain-lain.

Tak lama kami mengabadikan momen spesial itu dengan kamera.
Setelah puas, saya pamit pulang, mengejar waktu kerja.
****

25 Desember 2018 angan-angan saya ternyata terjadi di musalah Uak -- saya biasa memanggil beliau, Uwak Mus, musalah keluarga. Sepasang insan berdiri dengan didampingi Abah.

Ya Rabb, syukur padaMu atas nikmatMu.

#365days
#5of365
#2019bercerita

Kamis, 24 Januari 2019

Gus Mus: Tentang Takwa

Saya suka baca buku non fiksi agama tentang ketauhidan.  Tulisan-tulisan Kyai asal Rembang ini salah satu tulisan yang paling kusuka, mengingatkan saya bahwa manusia itu sangat kecil banget, Tuhan lah yang Maha Esa.

Buku ini adalah kumpulan tulisan beliau yang pernah terpampang di berbagai media cetak. Ada tiga bab yang terdiri dari beberapa sub bab.

Saya sendiri beberapa kali loncat ke bab lain, karena otak saya ga mampu. Hehe

Sampailah ke sub bab 'Dia , Saya, dan Takwa'. Di sana beliau menuliskan seorang sahabat --bisa dibilang gitu kali ya-- yang tiba-tiba main ke rumah. Karena waktu Maghrib tiba, si sahabat ikut berjamaah di surau pesantren bersama santri-santri. Saat wiridan beliau sempet memperhatikan sahabatnya dari Jakarta ini, berpenampilan ala orang kota.  Dari mulai fisik, cara berpakaian, namanya, dan lain-lain.  pun tak lupa membandingkan diri. Intinya kalau dilihat dari segi agama beliau yang paling nonjol dibanding sahabatnya sebagai seorang seniman.

Hingga akhirnya beliau bertanya pada diri, apakah beliau lebih mulia daripada sahabatnya? Apakah beliau lebih bertakwa daripada sahabatnya? Bukankah seseorang yang paling mulia disisi-Nya adalah orang yang paling bertakwa? Begitu kira-kira renungan beliau di buku yang saya baca.

Renungan beliau tidak menggantung begitu saja. Setelah itu beliau menuliskan beberapa definisi takwa dari bebagai sumber, salah satunya Alquran. Beliau menyimpulkan:

Kesenimanan dan kekiaian tidak termasuk kriterium. Jadi sepanjang menyangkut soal ketakwaan, saya tidak bisa sekedar mengukurnya dari kesenimanan dan kekiaian saya. Apalagi Rasulullah sendiri pernah berkata, sambil menunjuk dada, "At taqwa ha hunaa." (Takwa itu di sini).
Tapi saya tidak mengukur siapa-siapa, saya sedang bercermin pada diri kawan saya yang seniman dan saya melihat beberapa hal yang dapat saya manfaatkan untuk diri saya.
Saya melihat kekhusyuan tidak dalam salat dan wiridannya saja. Saya melihatnya juga pada saat dia bicara atau mendengarkan tentang Tuhan, bahkan tentang ciptaan-Nya. Dia menyimak dan merekam segala sesuatu yang dapat mendekatkan kepada Allah. Atau bahkan dia menyimak dan merekam-Nya pada segala sesuatu.
(Halaman 233)

Saya sengaja menebalkan dua kalimat terakhir. Hehe.

Beliau juga menyebutkan nama sahabat tersebut. Dan ternyata nama tersebut ga asing bagi pecinta literasi. Penasaran ga?

Oh iya saya belum khatam baca buku ini, tapi entah kenapa rasanya tangan ini ingin bermain ria dengan keyboard ponselku, buku ini sangat cocok buat anda agar lebih kenal dengan Tuhan.

Judul: Pesan Islam Sehari-hari
Penulis: A. Mustofa. Bisri
Penerbit: Laksana

#365days
#6of365
#2019bercerita

Jumat, 18 Januari 2019

Berbagi Kebaikan Melalui ODOP

"Satu Jam Termehek-mehek"

Aku sempet dibuat kaget saat membaca judul grup baru di WhatsApp. Wah semoga nanti bisa nimbrung, doaku siang itu. Sayangnya sindiran pacarku (baca: suami) terngiang keras, "Saya pengen deh jadi hape, biar dilihat kamu terus."
Jadi weh pada malam itu pilih menemani hari libur kerjanya.

Aku gabung Odop tiga yang saat itu dipimpin Mas Heru. Salut. Merasa bangga bisa gabung komunitas ini. Satu yang ga kudapat dari grup menulis lain, rasa kekeluargaan sesama anggota. Aku yakin kalian juga ngerasain.

Bergantinya tahun, Mas Ian yang kutahu orang Subang menggantikan jabatan penulis sejarah itu. Tambah salut. Lha ini ODOP makin banyak programnya, aku juga pernah ikut salah satunya, RCO. Reading Challenge ODOP. Walaupun ga pernah lulus, parahnya sudah ikut dua kali😂

Setelah naik turun lurus dan belok, ternyata acara serah terima jabatan kepengurusan ODOP 2019. Acara itu dipimpin oleh Mas Heru. Acara dibuka dengan lagu kebangsaan komunitas yang digagas oleh Bang Syaiha. "Satu Kali Lagi" lagu yang diciptakan dan dinyanyikan oleh warga Odop 2, Mas Urip Widodo dan Mbak Heny.
Merinding banget🤗 terharu bisa gabung sama komunitas ini.

Lanjut dengan pidato dari Mas Ian, isinya ga kalah bikin merinding. Salah satu isi pidato yang sempat nangkring dipikiran saya:

ODOP adalah sebuah kebaikan yang harus dilanjutkan

Ya, kabaikan. Jika kita mendapat kebaikan dari A, maka si A memberi kebaikan serupa atau lebih kepada B, lalu si B memberi kebaikan kepada C dan seterusnya. Agar kebaikan terus berlanjut. Tidak putus di tengah jalan.

ODOP adalah wadah bagi orang-orang yang ingin berbagi kebaikan.

Acara itu dilanjut dengan tanya jawab diselingi becanda yang tak lepas dari para ODOPers.

Terakhir serah terima jabatan kepada kepengurusan baru.
Suasana makin haru.

Selamat bertugas Mas Suden, ingatkan kami agar terus berbagi kebaikan.

-- Nur Musabikah --

#365days
#2of365
#2019bercerita

Minggu, 28 Oktober 2018

Pulang itu Berat, Ga Pulang Jauh Lebih Berat

Tulisan ini bukan untuk melarang teman-teman menjadi TKI. Bukan. Silahkan kerja di  Rantau. Jemput rizki-Nya. Segerelah pulang kembali. 

Kamu serius mau pulang selamanya? Kamu kok ngbreak, sayang lho beberapa bulan lagi finish? Mumpung belum nikah, puas-puasin aja dulu di sini, baru pulang...

Pertanyaan dan pernyataan di atas aku tepiskan dengan niat. Ya saat mau pulang kampung kita kudu punya niat, bukan sekedar niat, niat itu kudu kuat, kalau diibaratkan dengan dinding, ga akan lecet karena digedor palu.
Kapan kita bisa pulang? Ketika tujuan kita di Negeri rantau terpenuhi dan sudah punya bekal. Bingung ya? Nih contohnya, dulu pas berangkat si Inem (contoh lho ya) bertujuan untuk membangun rumah.

Setelah  bisa membangun rumah, sudah saatnya Inem pulang.
Bekalnya apa? Tabungan. Tabungan itu untuk keperluan  kita tiap hari, masa pulang bisa bangun rumah, tapi buat jajan ga ada. Ga mungkin kan?

Selain tabungan juga punya kemahiran atau skill.  Apa saja. Buat jaga-jaga. Tapi menurut saya ini ga wajib sih, kecuali kalau ada rencana menekuni, misalnya buka usaha kuliner atau lainnya.

Biasanya saat mau pulang ujiannya buanyaaak. Salah satunya: Ragu.

Duh, nanti pulang di rumah ngapain yak. Duh bekalku pulang belum banyak ey, belum ikut kursus jahit, rias, komputer dll. Duh, tabunganku  belum  cukup. Nah ini sedikit dari banyaknya keraguan, ujian tadi.
Sudaah, tepiskan saja dengan niat kuat tadi. Karena dengan niat tadi akan menumbuhkan mental yang besar. Ya, mental, siap menghadapi apapun yang terjadi, siap menanggung risiko.

Prestasi terbesar ketika seseorang pulang kampung ketika ia bisa betah di rumah. Betah? Iyaaa! Ia bisa beradaptasi lagi dengan lingkungan setelah sekian lama tinggal di tanah rantau yang kondisinya jauuuh lebih beda. Apalagi kalau ada yang nyinyir gini:

Kerja di rumah tiap hari (kerjaan rumah) tapi ga digaji ya, beda sama tinggal di luar negeri.

Disenyumin aja, jawab dalam hati:
Kan lagi bantu orangtua atau suami (bagi yang ga jomblo), biar Tuhan yang gaji.

Gimana supaya betah? Lakukan apa yang kamu suka, sibukan diri! Apa aja. Intinya sih, gimana caranya kita lupa dengan dollar, gimana caranya kita ga inget (inget mah pasti ya, hehe) dengan fasilitas mantan negeri rantauan. Masih ga bisa move on gimana dong? Saat mau pulang, hiduplah sederhana sederhan.  Ga usah sering ngemall, makan di restoran, toh nanti di kampung, supaya sudah terbiasa ga ngemall, ga nongkrong di tempat wisata, dan lain-lain. Mending kita sudah langsung punya penghasilan, bagus atuh. Lha kalau belum, tabungan kita kan cuman buat kebutuhan harian, bukan buat liburan 🤣

Duh, aku lihat si Mbak itu alumni TKI juga sukses dengan usahanya, bisa bermanfaat dengan orang kampungnya.

Lho kamu tahu darimana? Tahu di akun facebooknya, hehe.

Hei, jalan hidup orang itu beda lho. Kalaupun mau meniru jejak seperti mereka bagus atuh. Silahkan. Persiapkan mental yang lebih besar lagi. Mental buat memulai usaha. Mental buat tiba-tiba usaha mandeg, sedangkan modal habis. Mbak yang kamu lihat mungkin post atau share hasilnya saja, prosesnya pasti berliku-liku, sakit walaupun tak berdarah 😂

Saya bilangin sekali lagi. Mental disiapkan untuk pulang saja dulu, biar betah. Bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Nanti kalau sudah betah, mau usaha apapun pasti bisa, apalagi sekarang zamannya online yang konon bisa usaha tanpa modal. Asal ya tadi, siapkan lagi mentalmu.

Teman-teman juga perlu tahu, nih yang nulis juga belum apa-apa, belum bisa usaha (boro-boro punya partner buat usaha, nikah aja belum. Hihi. Doain ya...), belum bisa bermanfaat untuk sekitar. Tapi saya ngerasa saya sudah bisa melewati satu fase, berani pulang. Lalu hati saya tergerak untuk segera nulis (apalagi setelah beberapa kali mendengar curhatan),  bisa berbagi buat teman-teman yang sebenarnya udah ngebet mau pulang, tapi ragu.

Ingat ya, langkah pertama bagi seorang TKI yang ingin sukses itu pulang.

Kunci lain supaya betah di kampung adalah bersyukur. Menerima dengan lapang pada apa yang kita miliki.

Tidakkah kau rindu dengan suasana kampung yang tiap waktu selalu mendengar suara adzan berkumandang. Tidakkah kau rindu dengan riuhnya pasar malam, berkumpul dengan keluarga atau kawan. Tidakkah kau rindu akan syahdunya lantunan tadarus Alquran di malam-malam Ramadan.
Tidakkah kau rindu akan gagahnya suara takbir saat malam satu Syawal.
Tidakkah kau rindu...
Ah, sudahlah, tanpa ditulis pun, kau tahu.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf lahir bathin.

Salam,
Nur Musabikah
#alumnitkihongkong

Jumat, 19 Oktober 2018

Kepada Gerimis

Kepada gerimis kuberkisah,
“Ranting tubuhku terpelanting ke sana ke sini
ditampar angin berkali-kali.
Helaian jasadku terkulai
terurai.”

Kepada gerimis kumengadu,
“Seonggok ragaku bergeming
kaku
terguyur tetesanmu
kuyup.”

Lalu, waktu melesat jauh

Kepada gerimis kumengukir mimpi, “Layaknya kamu, aku pun siap jatuh terus menerus walaupun pelan, akan ada saatnya datang hujan besar, amukan badai. Namun, akan pergi secepat ia datang."

Kepada gerimis kuberjanji,  "Layaknya kamu, aku  pun harus siap dicekam hawa dingin. Kelak akan tiba saatnya datang segerombolan putihnya awan, bentangan birunya langit,  dan  jingga matahari menyelimuti.”

Kepada gerimis kuiramakan lagu, “Setelah kepergianmu akan ada ranumnya kembang warna-warni, hijaunya pepohonan dengan batang yang kokoh.”
“Pun denganmu,” bisikmu.

Nur Musabikah
Kota Nanas, 28 September 2019

Sabtu, 01 September 2018

Menyambut Matahari

Di pintu dhuha-Mu aku mengetuk

Mengangkat kedua tangan, bersaksi atas kebesaran-Mu
Melangitkan ummul quran
Mengagungkan ayat-Mu
Membungkuk, menghadap-Mu
Mengikrarkan kemahasucian-Mu
Bersujud kepada-Mu
Menekadkan kemahasucian-Mu
Mengucap salam dan salam

Di pintu dhuha-Mu aku mengharap

Limpahan rezeki-Mu
Orangtua yang masih peduli
Pasangan hidup yang mencintai
Keturunan yang sholeh-sholeha
Kesehatan jasmani
Iman yang selalu ada
Kerjaan yang baik
Teman kerja yang baik, yang tidak menikam demi akuan dari bos

Bukankah rezeki bukan melulu soal gaji dari bos?

Kurengkuhkan tubuh ini, menyembah-Mu, mengharap rezeki-Mu, kemurahan-Mu
Sebagai wujud syukurku, menyambut datangnya matahari.

Ah, apalah aku jika mentari-Mu tak bertandang?

Nur Musabikah
Kota Nanas, 1 September 2019

#onedayonepost

THEME BY RUMAH ES