Pangeran Kecilku
Aku mengenalnya di istana hati. Tempat mengaji dan memperbaiki diri. Ya, sebuah madrasah yang konon dulu banyak santrinya. Setelah berubahnya zaman, semakin sedikit jumlahnya.
Assalam, namanya. Gedungnya berbentuk L. Deretan depan terdapat tiga ruangan. Semuanya digunakan untuk sekolah madrasah di siang hari. Kelas empat, lima dan enam. Malamnya digunakan untuk mengaji. Ada tingkat iqro, baca Alquran dan hafalan. Oh iya, ruangan tersebut juga biasa digunakan untuk sholat berjamaah. Bagian tengah untuk jamaah putra, putrinya di ruangan pinggir.
Tiap akhir tahun pembelajaran, mengadakan musabaqoh ( Lomba ) antar santri. Diantaranya; Lomba kaligrafi, hafalan nadhzoman, mewarnai kaligrafi, sholawat, ceramah dan lomba fashion muslim. Khusus lomba busana, pesertanya harus dari anak tingkat akhir, enam ibtidaiyah.
Mbak Maya, sepupupuku kebetulan tahun tersebut kelas tingkat akhir, dia memaksaku untuk jadi modelnya. Sontak, aku menolaknya.
"Kalau bukan kamu siapa lagi?"
"Pokoknya, saya ga mau!"
"Kenapa?"
"Saya ga mau mukanya nanti di polas pales, jalannya berlenggak-lenggok."
Mbak Maya tertawa keras.
Kemudian, dia menarik tubuhku. Mengelus-elus kepalaku.
"Ga sampe gitu kali dek. Temanya kan lomba busana muslim. Tidak ada acara polas-poles. Pokoknya sederhana, asal menampilkan pakaian muslimah," jelasnya.
Aku mendengus kesal. Berlalu meninggalkan Mbak Maya.
***
Hari itupun tiba...
Suara merdu sholawat bergema di setiap sudut ruangan. Tenda biru terpasang halaman Madrasah. Kursi-kursi masih menumpuk belum tertata rapi. Beberapa orang masih sibuk mengerjakan menghias panggung. Tak jauh dari teras, para ibu sibuk di tungku, memasak.
Beberapa santri sibuk mondar-mondir, menyambut acara nanti malam.
Jam menunjukan angka satu. Lomba busana muslim akan segera dimulai. Aku duduk diam ditengah keributan peserta lain merias. Rautku terlihat terpaksa. Mbak Maya mulai merias wajahku ala kadarnya.
"Senyum dong... "
Wanita cantik itu menepuk pipiku.
"Yee, mau lomba ko manyun?"
Aku tak menghiraukannya. Membiarkannya merasa bersalah. Mataku terpejam, memberi tempat untuk tangannya merias wajahku.
"Mbak mau lulus, bantu mbak sekali ini saja." Ucapan terakhirnya menegurku. Menyadarkanku untuk merubah aura wajah. Aku menatapnya tajam, wajah ovalnya lalu mengangguk. "Okey, kali ini aku mengalah," batinku disusul seulas senyum untuknya.
"Makasih dek," ucapnya.
Aku dan beberapa santri lainnya menjadi peserta lomba, sudah siap dengan busana masing-masing. Mbak Maya memberiku gamis warna kunyit corak bunga, bawahnya agak lebar, mengembang. Kerudung polos segi empat dibentuk sesuai dengan wajahku. Dia sematkan jarum pas di bawah dagu, sangat sederhana. Ditambah pasmina warna senada gamis menjulur kebawah. Dia sematkan peniti diatas kepala dan belakang leherku.
Kulihat beberapa peserta putra tak kalah uniknya. Ada yang pake kopiah haji, warna putih dengan sorban yang melingkar di lehernya. Ada yang menghias kopiahnya dengan sorban hijau bak seorang kyai. Dan banyak bermacam-macam model.
Satu persatu peserta dipanggil oleh panitia lomba. Mereka jalan pelan muter sekali di ruangan tengah dihadapan juri, guru ngaji. Penonton melongok dari jendela luar. Karena tidak diperkenankan masuk ruangan.
Namakupun tak lama dipanggil. Dengan arahan Mbak Maya, aku mulai berjalan pelan dengan mengatupkan kedua tangan ketika melewati juri. Ada rasa takut. Karena berjalan pelan, ditengah-tengah banyak mata melihat.
"Wew bagus. Cukup sopan."
Mbak Maya menghambur, memelukku ketika aku selesai lomba. "Ayok kita pulang. Pengumuman lomba nanti malam," lanjutnya.
Kami meninggalakan keramaian acara.
Bersambung... *
#Cerbung
#Onedayonepost.