Dompet Dhuafa cabang Hongkong, tempat pilihan saya untuk mengisi waktu libur kerja. Satu-satunya lembaga sosial yang resmi di Negri beton ini memberikan banyak sekali kegiatan sebagai bekal untuk TKI kelak pulang kampung. Kurang lebih 3 tahun saya gabung untuk bantu-bantu jadi amil zakat. Donaturnya dari WNI yakni TKI HK.
Tidak jarang lembaga yang mulai berdiri tahun 2004 ini mendatangkan Ustadz dari Indonesia untuk berdakwah, menguatkan Islam di tengah-tengah mayoritas non muslim. Biasanya, ustadz-ustadz ini disebar ke berbagai organisasi-organisasi islam TKI. Indah, ya..
Setiap lebaran, Selain kedutaan dan masjid-masjid setempat, DDHK pun mengadakan sholat Ied di berbagai tempat sampai daerah yang jauh dari pusat kota Hongkong. Kami bekerja sama dengan organisasi Islam setempat.
Idul fitri kemarin, kebetulan saya diminta untuk mendampingi ustadz, imam sholat.
"Dik, nanti kasih tahu saya kalau pas lebaran nanti libur ya, bantu saya untuk nganter ustadz," pesan lewat WA dari Mba Umi, ketua pelaksana Sholat.
Jauh sebelum lebaran saya sudah ijin majikan, tapi dia masih belum memastikan, "Ga sekarang saya kasih tahu ya. Saya dan suami kerja, lha si Nenek sama siapa kalau kamu keluar, sholat?" Jawabnya.
"Oke, saya tunggu." Padahal, saya galau banget dapet jawaban gitu dari majikan. Merasa digantung! Husnudzhon saja, pikirku saat itu.
Singkat cerita, Setelah makan malam biasanya mereka kumpul di ruangan tv. Saya memberanikan diri sekedar untuk mengingatkan. Karena jauh-jauh hari saya udah ijin minta libur pas lebaran. Tapi, dia tidak memberi jawaban dan besok idul fitri tiba.
"Besok gimana?" tanyaku sambil bawa lap untuk ngelap meja.
Majikan masih sibuk dengan ponselnya di sofa. "Iya, nanti saya lagi tanyain ke kakak saya. Bisa ga dia maen ke rumah jaga nenek selama kamu diluar," jawabnya sambil fokus ke layar ponsel.
"Baik, saya tunggu." Saya berlalu ke dapur, nyuci piring.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara dia menelfon seseorang. Saya harap dia ngobrol sama kakaknya. Suaranya semakin menjauh, saya tidak bisa mendengarnya. Mungkin dia pindah ke kamar dari sofa.
Selesai kerjaan dapur, saya buru-buru mandi ngejar waktu isya.
Tidak sampai saya masuk kamar mandi, majikan memanggil. Saya menemuinya di kamar. Akhirnya dia mengijinkan saya keluar untuk sholat Ied, "Asal sebelum pergi belikan roti untuk sarapan nenek ya. Pulangnya nanti jangan telat, jam 1 siang udah di rumah lagi," pesannya, diakhir obrolan.
"Baik," jawabku, nurut. Bahagia tapi bimbang.
Setelah mandi, isya-an, saya langsung hubungi Mbak Umi. Kata beliau jam 7 harus sudah sampe kantor. Karena jarak ke tempat sholat Ied jauh. Untuk menghilangkan rasa bimbang, sayapun tanya beberapa teman, toko roti buka jam berapa. "Di tempatku jam 6, tapi ga tahu ya di tempatmu," Salah satu teman menjawab.
Saya tidak peduli, yakin aja besok jam 6 udah buka, husnudzon. Ada Allah menolong. Malam itu saya tidur awal, terdengar suara agung takbiran kampung, jauh dari relung hati.
Paginya, setelah sholat shubuh saya sudah berpakaian rapih. Kemudian sigap turun dari flat. Menuju toko roti langganan nenek, dari jauh sudah keliat lampunya, pertanda sudah buka. Setelah di depan toko, saya ngerasa aneh melihat tempatnya belum ada roti satupun, "Belum matang," kata si kasir yang sibuk di depan komputer.
Jalanan becek karena gerimis. Saya masih terus berjalan ke toko roti selanjutnya dan ternyata masih tutup. "Duh," keluhku saat itu. Samping belokan toko tersebut ada toko roti, sayapun kesitu, sudah buka. Ketika saya masuk tokonya, ternyata cuman beberapa jenis yang sudah matang. Ada rasa khawatir roti kesukaan nenek tidak ada.
Mataku langsung tertuju pada tumpukan roti yang tidak begitu banyak. Langsung saya raih kemudian di taruh sebuah wadah dan langsung mengarah kekasir.
"Akhirnya nemu," syukurku. Ada rasa lega di dada...
Singkat cerita, selama 45 menit perjalanan, saya sudah keluar dari stasiun MTR -sebutan untuk kereta listrik- menuju kantor DDHK, tempat ustadz menunggu. Saya berpapasan dengan ustadz lainnya dan didampingi sama salah seorang teman, "Mbak Kaka, ya? Udah ditunggu ustadz tuh," sapa ustadz lain sambil jalan, berlalu. "Hati-hati dik," ujar Mba Siti, pendamping ustadz Rohman. Saya mengangguk, mengiyakan.
Tak lama, saya nyampe dan kami segera meluncur ke tempat tujuan, Tai Wo Hau, butuh waktu 45 menit dari Cause Waybay, kantor kami. Pertama masuk kereta banyak muslim-muslimah berjubelan memenuhi ruang tiap sudut kendaraan cepat itu. Bisa ditebak, kami berdiri menikmati perjalanan. Setiap ketemu muslimah Indonesia kami saling senyum, berbagi kebahagiaan di hari Fitri.
Tepat satu stasiun sebelum Tsuen Wan, kami turun. Menyusuri koridor menuju pintu keluar. Tidak jauh dari stasiun, kami berhenti di sebuah taman yang sudah rameh jamaah sholat Ied. Panitia menyambut kami, mempersilahkan duduk. Kemudian salah satu diantara mereka menyerahkan mix kepada Ustadz. Saya iseng liat jam tangan, ternyata kami tidak telat. Gerimis masih setia, untung tempat sholat kami pas di bawah jembatan taman.
Ustadz memulai mengagungkan kalimat takbir. Kami mengikutinya. Banyak wajah di depan saya nunduk, tangannya memegang tisue, sesekali nyeka air yang keluar dari mata. Ya, mereka termasuk saya merasa sangat rindu bisa merasakan hari fitri di Tanah Air. Jamaah kurang lebih 200 orang itu hidmat, menikmati gema takbir yang dipimpin Ustadz.
"Husnudzon kepadaNya sama saja percaya dengan kekuasaanYa, pun sebaliknya."
#HariKe3
#OnedayOnePost
5 Oktober 2016
7 komentar:
keren mba,,, toko roti di hari lebaran ternyata sangat diperlukan,, semnagt mba ku sayank,,,, tulisan bawahnya loh bikin greget di hateeeee,,.
keren mba,,,, ternyata toko roti di hari lebaran sangat di perlukan,,,, semanagt mba ku sayankkk,,,, tulisan di bwahnya ituloh bikin greget di hateee
makasih nok udah mampir
iya nok, pas itu putus asa bgt slm nyari toko roti
Allah Maha Baik, niat akan kebaikan Insyaallah dimudahkan.
Tetap smngat mba abwa walaupun ad du negeri org.
makasih mbak Rika
makasih mbak Ane. aamiin
Posting Komentar