Penari Jaipong di Victory
Jika ada yang bilang BMI Hongkong surganya para BMI itu tepat sekali. Pasalnya setiap hari libur tiba, entah itu hari minggu, saptu bahkan hari biasa pasti ada kegiataan positif yang produktif diadakan oleh Organisasi. Organisasi tersebut dari BMI itu sendiri yang bentuk. Selain itu ada juga lembaga-lembaga resmi di Hongkong turut membantu mengadakan kegiatan untuk mengisi liburan. Kegiatannya beragam, ada kursus, sekolah tinggi, belajar ngaji, seminar kewirausahaan, pengajian rohani yang tak jarang mereka mengundang ustadz-ustadz kondang dari tanah air. Lengkap deh pokoknya!
Bicara soal belajar, ada juga sebagian dari BMI yang lebih suka melestarikan Budaya Nusantara, misalnya tari reog, jaranan, jatilan, barong, celeng, jaipong dan lain-lain. Melalui perantara mereka, Negara lain mengenal kebudayaan Indonesia. Sebuah tambahan nilai untuk para WNI yang berada di Luar Negri. Ya, bukan hanya untuk BMI Hongkong, tapi seluruh dunia.
Menjadi BMI semakin tinggi rasa nasionalime pada tanah air. Aku, perempuan asal Subang , sebuah kabupaten di Jawa bagian barat. Sebelum kerja di Hongkong pernah menjadi pekerja di Singapura. Dua tahun aku kerja di Negeri Singa itu, tahun 2000-2004. Berjalannya waktu, aku ingin sekali punya rumah sendiri karena gaji suami tak seberapa. Selain itu, ingin punya modal usaha. Suamipun menyetujuinya, dan aku memilih Hongkong karena lebih besar gajinya dan perlindungan untuk para BMI sangat baik. Akhirnya pada tahun 2007, aku pindah ke Negeri kampungya Andi Lau .
Pertama kerja jobnya jaga nenek. Rumahnya kecil, jadi tidak terlalu capek. Walaupun dulu aku pernah kerja di Singapura, tapi melihat nenek yang cerewetnya berlebihan membuat tidak nyaman kerja. Selain itu, dia pemarah dan pelit. Selama kerja, aku kekurangan makanan. Terkadang dia juga pernah mencaci makiku di depan umum karena kesalahan kecil. Di tambah selama 7 bulan aku tidak dikasih libur. Selama potongang gaji tersebut aku hanya mendapatkan $340, nominal yang sangat kecil bagiku. Karena harus ngirim uang untuk keperluan sehari-hari keluarga.
Ternyata kesabaranku mengurus nenek berakhir sudah. Tepat tujuh bulan tersebut kesehatannya tidak baik. Tidak lama, perempuan 84 tahun ini meninggal. Dalam hati aku sedih karena kehilangan kerjaan, walaupun muak dengan tingkahnya. Aku berusaha menerima kegagalan. Berharap bisa menemukan majikan lain yang lebih baik, perantara rezekiku.
Melalui agen yang sama, alhamdulilah aku menemukan majikan kembali di Lai Ci Kok. Jobnya jaga satu anak, umurnya 7 tahun. Gadis kecil ini sebagai hiburan ketika aku tak semangat kerja. Karena aku merasa bosan melihat majikan perempuan yang sehari-hari di kamar. Ya, dia tidak kerja. Untung saja, tiap waktu aku jarang di rumah, mengantar dan menjemput anak sekolah juga belanja ke Pasar. Aku pikir segala sesuatu ada kekurangan dan kelebihan. Termasuk dalam kerjaan. Jadi, aku harus tetap bersyukur. Apalagi gajih dan liburku lancar. Apalagi yang harus aku keluhkan?
Tak terasa empat bulan terlewati. Entah karena alasan apa, majikan tiba-tiba mau interminit. Segera aku tanyakan baik-baik, “Saya tidak kerja, Lin. Sedangkan pengeluaran tambah banyak. Jadi, untuk selanjutnya tidak bisa gaji kamu,” katanya menjelaskan. Aku hanya diam menanggapnya. “Ya Allah, beri aku kekuatan jika aku harus gagal lagi,’’ rintihku. “Saya kasih kamu waktu satu bulan supaya bisa cari majikan lain. Hak-hak kamu pasti saya kasih, Lin,” tambahnya. Aku mengangguk, mengiyakan.
Hari-hari berikutnya, semangat kerjaku turun. Tiap liburan, aku menceritakan masalahku pada teman-teman. Berharap melalui perantara mereka aku menemukan kembali majikan yang jauh lebih baik. Karena tekadku untuk membeli rumah semuanya terasa ringan.
Dibalik kesusahan ada kemudahan. Suatu hari aku mendapat kabar dari teman yang biasa libur bareng. Dia memberi tahu akan pulang secepatnya, karena mau nikah. Tentu saja ini kabar bahagia, aku tahu betul majikannya sangat baik. Aku bersyukur padaNya telah memudahkan setiap kesulitanku.
Hari yang ditentukan tiba, aku keluar dari majikan lama. Beberapa hari tinggal di Agen sambil mengurus kontrak kerja baru. Setelah selesai, aku langsung ke rumah majikan baru yang tak lain majikan temanku. Semua anggota keluarga baik, tidak pemarah dan memperlakukan aku layaknya keluarga sendiri. Tiap liburan, aku bebas ikut aktifitas di luar. Sampai akhirnya aku ikut belajar nari Jaipong.
Berawal dari ketidaksengajaanku melihat acara anniversary sebuah komunitas di Lapangan Victory. Dalam acara tersebut ada sesi penampilan tari jaipong. Terbesit ada rasa rindu kampung halaman melihat aksi mereka. Bagaimana tidak? Jaipong adalah tarian khas masyarakat sunda, Karawang, Jawa Barat. Bagiku tarian tersebut warisan nenek moyang orang Sunda. Ketika itu aku ingin sekali belajar seperti mereka. Walaupun dulu, waktu sekolah aku tidak tertarik Tarian Tradisional.
Selesai acara, aku memberanikan diri menemui panitia acara. Mereka menyambut dengan baik dan mengijnkan aku untuk belajar menari. “Tiap minggu latihan ya, selama tiga bulan,” jelasnya. Aku mengangguk, tanda setuju. Ini salah satu bentuk cintaku pada tanah air dengan melestarikan kebudayaan.
Selama tiga bulan, aku belajar keras menari. Kesalahan-kesalahan yang sering kulakukan membuat aku lebih baik. Tak jarang, guruku sering menegur. Bukan hanya itu, kakiku sering keram karena jaipong merupakan kekuatan bertumpu pada kaki. Tapi, rasa sakit itu cepat pudar karena rinduku pada kampung halaman terobati. Setiap gerakan yang kualunkan bersamaan musik ranca itu, ada rasa kebahagiaan hadir dalam hati.
Latihan yang bersungguh-sungguh dan continue, membuat sesuatu dengan mudah kita raih. Tiga bulan sudah aku ikut berlatih. Terkadang disela waktu kerja, aku mempraktekan sendiri di Rumah. Majikan sungguh baik. Mereka senang melihat liburanku diisi dengan aktifitas positif. Mereka jadi tahu salah satu kebudayaan Indonesia yaitu Jaipong. Ah, bahagianya….
**
“Lin, nanti kamu ikut tampil sama saya. Ada undangan untuk kita,” ujar Rita.
Rita, ketua Jaipong tim kami. Dia juga yang dengan sabar melatihku sampai bisa. Bagiku dia guru terbaik. Guru yang mengajarkan aku untuk tidak lelah melestariakan kebudayaan Nusantara. Jangan salah, Rita ini sama-sama BMI, yang sehari-harinya disibukkan dengan kerjaan majikan yang menumpuk.
Hari itupun tiba….
Aku bersama tim tampil di Hongkong Culture Show. Dengan kerja keras dan semangat, kami berusaha menampilkan sebaik mungkin. Selesai tampil, Rita menegurku karena ada sedikit gerakan yang salah. Sedih memang, tapi aku rasa ini sebuah kewajaran, sebuah proses belajar. Apalagi ini penampilanku yang pertama.
Selain itu aku juga pernah tampil sama senior di acara-acara organisasi teman-teman BMI, Pembukaan konser, Organisasi Philipina, Organisasi Nepal, Parade National China, Wisuda YWCA, Organisasi We Care Hongkong dan masih banyak lagi.
Di balik tepuk tangan yang meriah dari penonton, ada rasa sakit bahagia. Sakit karena beratnya konde pernak-pernik hiasan rambut dan tusukan konde yang menancap di kepala. Belum lagi, kecelakaan-kecelakaan kecil yang pernah terjadi di panggung seperti jatuhnya kipas dan sepatu yang tiba-tiba lepas. Sakit juga karena ada kawan yang mencibirku melihat suka menari, “Gaji ko buat foya-foya? Abis-abisin uang aja,’’ kilahnya. Tapi, sakit itu lagi lagi cepat pudar. Karena aku merasa cara ini mengenalkan negeri tercintaku kepada Negara lain. Ya, dengan mengenalkan Kebudayaan Nusantara.
Aku berharap, semoga setelah kepulanganku ke kampung halaman, masih ada teman-teman BMI yang suka mengisi liburannya dengan belajar Tari Tradisional sepertiku. Supaya Kebudayaan kita tetap berkibar ditengah-tengah jaman yang lebih modern.
Jika akhlak mencerminkan diri manusia, maka kebudayaan mencerminkan suatu Negeri.
Salam cinta,
Sekian.
*******
*Kisah nyata dari seorang BMI Hong Kong berinisial L.
* Alhamdulilaah, tulisan ini ikut memeriahkan di acara Festival Sastra Migrant Indonesia ke Enam yang diadakan oleh FLP HONG KONG ( 20 November 2016 ).
#onedayonepost
HK, 23-11-2016.